Sinau Sejarah Keistimewaan DIY Bahas Perjanjian Giyanti Yang Lahirkan Peradaban Baru
Yogyakarta (19/02/2024) paniradyakaistimewan.jogjaprov.go.id - Paniradya Kaistimewan berkolaborasi dengan Sekber Keistimewaan DIY dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) menggelar Program Sinau Sejarah Keistimewaan DIY di berbagai sekolah. Dihadirkan langsung ke sekolah-sekolah untuk menguatkan informasi sejarah keistimewaan DIY di kalangan pelajar, Sinau Sejarah Keistimewaan DIY kali ini mengusung tema Giyanti Cikal Bakal Jogja.
Seperti namanya, sinau yang berarti mempelajari, program Sinau Sejarah berarti kegiatan mempelajari sejarah. Istilah ini dipilih dengan maksud untuk mempelajari apapun berkaitan dengan sejarah. Karenanya untuk mempelajari itu Sinau Sejarah juga menghadirkan sejumlah narasumber kredibel di bidangnya.
Di SMAN 1 Godean Sinau Sejarah mengirimkan sejumlah narasumber kompeten. Di antaranya ada Kepala Bagian Pelayanan dan Umum Paniradya Kaistimewan, Ariyanti Luhur Tri Setyarini, Sejarawan UGM, Bahauddin dan Ketua Sekber Keistimewaan, Widihasto Wasana Putra. Ketiganya membahas momen perjanjian Giyanti dalam berbagai perspektif.
"Sinau Sejarah ini memang tidak ada di muatan lokal pelajaran sejarah. Maka ini kita sedang berproses dengan AGSI agar bisa mempunyai metode lain selain Sinau Sejarah untuk lagi memasifkan lagi sejarah lokal tentang keistimewaan di DIY," terang Ririn pada Senin (19/2/2024) di SMAN 1 Godean. Sejarah dinilai Ririn bukan merupakan pintu untuk menuju masa lalu, melainkan pintu menuju masa depan. Sejarah menjadi fondasi bagi masa depan yang akan ditempuh. "Seperti apa identitas atau diri kita menuju masa depan itu tergantung kepada sejarah dan asal-asul yang kita pelajari bersama," jelasnya.
Sejarah masih relevan sampai dengan hari ini. Pada momen sejarah perjanjian Giyanti misalnya, Ririn menyebut jika kejadian di masa lalu tersebut selanjutnya memberikan legitimasi bagi keberadaan DIY pada hari ini. "Sampai hari ini sejarah terkait keistimewaan DIY terus digodok untuk dimasukkan ke dalam kurikulum sejarah di sekolah-sekolah," ungkapnya.
Namun bukan sekadar bisa masuk di kurikulum, Ririn ingin sejarah keistimewaan DIY betul-betul menjadi bagian dari mata pelajaran. Salah satunya semangat ke-Ngayogyakarto-an pendidikan khas ke-Jogja-an. "Kalau itu terkait dengan unggah-ungguh, nilai-nilai itu harapannya tidak hanya menjadi satu pelajaran yang diberikan 45 menit atau 90 menit terus selesai. Tapi di setiap pelajaran unggah-ungguh dan nilai itu wajib diberikan, karena itu berlaku universal," tandasnya.
Sejak Januari 2023, Sinau Sejarah Keistimewaan DIY telah diadakan di berbagai sekolah di DIY. Beberapa di antaranya meliputi SMAN 1 Bantul, SMAN 1 Seyegan, SMAN 3 Jogja, SMAN 1 Teladan, SMAN 1 Wonosari, SMAN 7 Jogja, SMA De Brito SMAN 11 Jogja,, SMKN 2 Kasihan, SMAN 8 Jogja dan SMAN 1 Godean. Program Sinau Sejarah dikonsep sebagai terobosan baru penyebaran informasi Sejarah Keistimewaan DIY dengan cara yang berbeda. Tujuannya penyebaran informasi terkait dengan Keistimewaan DIY di luar pelajaran sejarah di sekolah. Targetnya yakbi melibatkan generasi muda khususnya para pelajar dalam diskusi mengenai sejarah keistimewaan DIY.
"Semua sekolah yang kami kunjungi kemudian menjadi agen kami dalam penyebar luasan informasi keistimewaan," ujarnya. Melalui Sinau Sejarah Keistimewaan DIY diharapkan para pelajar kemudian memahami sejarah keistimewaan DIY. Para siswa lanjut Ririn menjadi agen dalam penyebaran informasi keistimewaan DIY."Siswa-siswa ini nantinya akan menjadi agen kami dalam menyebarkan luaskan informasi [Keistimewaan DIY]," kata Ririn.
Dalam pelaksanaannya Sinau Sejarah Keistimewaan DIY ini selalu diwarnai dengan pemutaran video dokumenter, dialog keistimewaan dan penampilan bintang tamu. Paniradya Kaistimewaan juga melibatkan pelajar dalam kuis sejarah. "Kami titip keistimewaan DIY kepada adik-adik ini adalah warisan budaya bangsa yang omongannya dijaga, dikembangkan dan dilestarikan sampai ke depan," tegasnya.
Ketua Sekber Keistimewaan, Widihasto Wasana Putra menuturkan momen perjanjian Giyanti melahirkan peradaban baru sesuai proses waktunya. Seperti busana, bahasa, sastra, arkeologi, seni hingga kuliner. "Termasuk juga blangkon, blangkon kalau gaya Jogja itu ada mondolan kalau Solo trepes. Itu peradaban-peradaban yang muncul, yang lahir setelah Perjanjian Giyanti. Karena masing-masing kerajaan itu kemudian membuat simbolisasi ini lho ciri khas kami. Saya kira proses itu berjalan dengan waktu tidak mungkin satu hari," tegasnya.
Refleksi belajar sejarah Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 setidaknya memberikan beberapa tiga hal esensial. Pertama bagaimana memahami akar masalah dan konflik yang terjadi momen Perjanjian Giyanti sehingga dapat membantu menghindari kesalahan yang sama di masa depan. Agenda ini juga membantu para siswa memahami nilai-nilai dan identitas sejarah bangsa untuk memperkuat rasa persatuan dan kebangsaan. Termasuk menghargai perjuangan dan pencapaian para pendahulu kita. Hal ini juga dapat memotivasi warga sekolah untuk berjuang membangun masa kini dan masa depan peradaban Jogjakarta.
Peringatan Perjanjian Giyanti sendiri telah diadakan pada 13 Februari lalu. Paniradya Kaistimewaan DIY menggelar Doa Bersama. Kegiatan ini turut dihadiri Paniradya Pati Kaistimewan DIY, Aris Eko Nugroho dan Ketua Sekber Keistimewaan, Widihasto Wasana Putra.
Sumber : HarianJogja